23.3.15

Munafik Menurut Al-Quran dan As-Sunnah [Dr. Muhammad Musa Nasr]


sumber

Munafik berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu an-nifaq yang berarti lubang. Pengertian ini terkait dengan perilaku tikus atau biawak yang suka menggali-tutup lubang di tanah, ibarat karakter orang munafik yang memperlihatkan sesuatu yang berbeda dengan yang disembunyikan di hatinya. Kata ini secara istilah baru muncul setelah tegaknya daulat Islam, ditunjukkan dengan ayat-ayat Madaniyah yang mengungkap keburukan orang munafik. Sewaktu di Mekah—pada awal kemunculan Islam—jangankan munafik, mengaku Islam saja dapat membuat seseorang disiksa mati-matian.

Nifaq terbagi menjadi nifaq kufur, yaitu apabila terjadi dalam akidah (keimanan), dan nifaq amal, yang meliputi pelaksanaan amal perbuatan maupun meninggalkannya. Bagaimanapun, nifaq merupakan bentuk kekufuran yang paling besar sehingga Allah Swt mengancam kaum munafik akan ditempatkan di neraka paling bawah (QS An-Nisaa’: 145).

Menurut Ibnu Qayyim Rahimullah, nifaq tumbuh dari kedustaan dan ria, adapun keluarnya berupa lemahnya ilmu serta tekad dan cita-cita.

Sifat orang munafik, di antaranya: Berbuat kerusakan di muka bumi (QS Al-Baqarah: 12); Membuat was-was (bimbang) dan selalu manis dalam bertutur kata (QS Al-An’am: 112); Menipu dan mengecoh (QS Al-Baqarah: 9); Mengejek dan tidak punya pendirian (QS Al-Baqarah: 14); Malas, ria dalam beribadah, serta lalai berzikir kepada Allah menunjukkan lemahnya tekad dan cita-cita (QS An-Nisaa’: 142); Tidak mensyukuri karunia panca indera (QS Al-Baqarah: 88); Selalu mengawasi dan mengintai orang-orang beriman dan bersekongkol untuk menghantam mereka setiap kali ada kesempatan (QS An-Nisaa’: 141); Menghalangi dan menyimpang dari hukum Allah dan Rasul-Nya dan tidak mau tunduk kepada syariat Islam (QS An-Nisaa’: 61); Membenarkan perbuatannya yang keji—ketika terungkap—dengan sumpah palsu, serta menyembunyikan niat buruknya dengan sumpahnya itu sebagai tameng (QS An-Nisaa’: 62, QS Al-Mujadilah: 16); Memperhatikan penampilan luar dan mengabaikan isi, serta memperindah kata-kata namun tidak membaguskan amal (QS Al-Munafiquun: 4); Gembira dan senang ketika orang-orang mukmin tertimpa musibah dan sedih ketika orang-orang mukmin mendapatkan kemenangan atau kebaikan (QS At-Taubah: 50); Demikian seterusnya sehingga sepatutnya kita memohon perlindungan Allah Swt dari sifat nifaq. Naudzubillahimindzalik.

14.3.15

Cambuk Hati [Dr. ‘Aidh bin ‘Abdullah Al-Qarni]


sumber

Buku ini diterbitkan oleh Irsyad Baitus Salam menyusul suksesnya buku semacam yang berjudul Laa Tahzan atau dalam bahasa Indonesianya yaitu Jangan Bersedih. Karena tidak menemukan buku yang pertama, maka buku inilah yang lebih dulu saya baca. Tebalnya 360 halaman sehingga butuh waktu cukup lama untuk menamatkannya, selain karena mungkin memang ada baiknya membaca pelan-pelan sekalian meresapinya. Lebih dari enam puluh halaman pertamanya berisi kata-kata mutiara yang berasal dari sosok sufi pujaan penulis, yaitu Yahya bin Mu’adz Ar-Razi. Selanjutnya barulah berupa uraian.

Dalam beberapa bagian diutarakan mengenai keutamaan zuhud. Misalnya pada bagian “Putra mahkota dan orang miskin” (halaman 234) yang berkisah tentang ‘Ali, putra mahkota Al-Ma’mun, khalifah ‘Abbasiyyah, yang suatu ketika mengamati kehidupan seorang kuli dan mengundangnya ke istana serta menawarkannya berbagai kemudahan. Sikap kuli yang lebih memilih untuk hidup sekadarnya membuat Putra Mahkota merenung dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istana dan bekerja sebagai orang miskin hingga ajalnya. Kisah ini mengingatkan pada Siddharta Gautama, kecuali yang disebut terakhir ini kemudian membuat aliran kepercayaan sendiri.

Isi buku ini baik meski ada beberapa bagian yang memberi peringatan keras. Berkali-kali disebut tentang Ahmad bin Hanbal. Mungkin karena itulah; penulis berasal dari jazirah Arab yang menganut mazhab Hambali sehingga pandangannya terkesan demikian. Maka pembacaan kadang terasa menenteramkan, kadang terasa menakutkan. Segala yang baik-baik itu bercampur aduk dalam kepala; hal-hal yang barangkali sudah diketahui sejak lama lantas dimunculkan lagi ke permukaan dengan membaca buku ini, karena saya tidak benar-benar mengingat yang baru, namun pengulang-ulangan seperti itu barangkali memang perlu, sebab begitu jam membaca buku ini usai, segala ancaman, peringatan, dan sebagainya yang tercantum di dalamnya seketika menguap, didera unsur-unsur duniawi yang menyita sebagian besar waktu dan pikiran dalam sehari.

Sungguhpun demikian, membacanya sebaiknya disertai mengingat amanat dari cerpen “Robohnya Surau Kami” – A. A. Navis, agar kesalehan sebagaimana dianjurkan dalam buku ini bukan hanya untuk pribadi sebab toh bisa jadi sia-sia belaka. Sebagaimana salah satu pesan dalam buku ini pula, yang dimulai sejak halaman 304, semua amal perbuatan dinilai menurut kesudahannya. Jadi apapun, siapapun, sosok yang kita anggap suci, mulia, dan sebagainya sekarang ini, wallahualam bagaimana kesudahan hidupnya dan apa yang sesungguhnya berada dalam dirinya. Itu merupakan makna kalam (halaman 312) atau termasuk rahasia, pemaafan, dan rahmat dari Allah. Sebab sekiranya Allah memberitahukan pada manusia mengenai kesudahan dari amalnya, kalau itu baik maka ia akan merasa besar diri dan malas beribadah, sedangkan kalau itu buruk, maka ia akan putus asa dan bertambah angkuh serta membangkang. Demikian supaya manusia selalu berada di antara takut dan harap.

9.3.15

Gandhi, Sebuah Otobiografi [Mohandas K. Gandhi]



Rencana hidup Mark Boyle, penulis The Moneyless Man, berubah setelah membaca buku tentang Mahatma Gandhi. Kalau sebelumnya ia hendak masuk ke dunia usaha untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, maka setelahnya ia ingin menggunakan pengetahuan dan kemampuan apapun yang dimilikinya agar bisa memberi manfaat sosial yang positif. Ia pun masuk dalam usaha makanan organik hingga nantinya menjalankan eksperimen untuk hidup tanpa uang sama sekali selama setahun demi keyakinannya bahwa itu lebih baik bagi kehidupan sosial dan lingkungan hidup. Tapi itu cerita nanti.

Saya pun menjadi penasaran. Apa sih yang dilakukan Mahatma Gandhi sehingga dapat mengubah pemikiran Mark Boyle?

Di rumah ada buku lawas berjudul Gandhi, Sebuah Otobiografi, yang dialihbahasakan oleh Gd. Bagoes Oka dan diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, bekerja sama dengan Yayasan Bali Canti Sena, Denpasar, dalam cetakannya yang ketiga, 1982. Sebelumnya buku ini diterbitkan oleh Yayasan Bali Canti Sena saja, pertama kali pada 1975 dan berikutnya pada 1978. Sayangnya, tahun kapan Gandhi menulis autobiografi ini tidak tercantum dalam buku ini. Saya hanya bisa mengira-ngira bahwa yang jelas autobiografi ini ditulis sebelum tahun kematian penulisnya, yaitu 1948, dan pada waktu itu perjuangan Gandhi telah dikenal oleh khalayak sebagaimana yang disebutkan dalam buku ini.

Setelah membaca autobiografinya, saya merasa ia hampir seperti seorang nabi, begitu mulia dan menyampaikan kata-katanya dengan lembut pada orang lain, dan khususnya karena pilihannya untuk hidup sesederhana mungkin, mendekati kaum yang paling dianggap rendah oleh masyarakat, dan tentu saja, pengabdiannya yang tulus pada masyarakat. Karena keterbatasan pemahaman saya akan politik, sosial, dan semacamnya yang banyak pula diceritakan dalam buku ini, saya cenderung melihat apa yang diperbuat Gandhi mengenai pribadinya.

Di samping karena kepercayaannya, makanannya hanya berupa sayur-sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan. Ia sering melakukan puasa. Ia pernah menetapkan dirinya tidak boleh menyantap lebih dari lima macam makanan dalam sehari. Bahkan sewaktu sakit keras dan disarankan oleh dokter untuk meminum kaldu, susu, atau telur—produk-produk hewani—ia bersikukuh menolaknya. Prinsip demikian diterapkannya juga pada keluarganya. Sebagai gantinya, ia menggunakan hidropati sebagai pengobatan alternatif kendati adakalanya tidak mujarab. Menurutnya, apa yang dimasukkan ke dalam perut sangat berperan dalam mengendalikan nafsu duniawi. Ini berhubungan dengan paham brahmacharia yang dianutnya, yang secara harfiah berarti tingkah laku yang menuntun seseorang kepada Tuhan, sedangkan secara teknis berarti pengekangan diri terutama penguasaan/pengendalian organ seksual.

Pernah pada suatu masa dalam hidupnya, berkat jasanya pada masyarakat, ia menerima begitu banyak hadiah. Hadiah itu malah diserahkannya pada bank untuk digunakan apabila sewaktu-waktu ada masyarakat yang membutuhkan. Anak-anaknya bisa menerima, tapi istrinya tidak. Istrinya menghendaki perhiasan yang memang dihadiahkan untuk dipakainya sendiri. Namun karena prinsipnya, Gandhi terus-terusan membujuk istrinya agar melepaskan harta tersebut.

Sewaktu baru tinggal di Afrika Selatan, ia ditolak duduk di gerbong kereta kelas satu hanya karena kulitnya yang berwarna. Padahal ia sudah membayar dengan harga sepantasnya. Karena tidak terima, ia ditinggalkan di stasiun berikutnya. Peristiwa tersebut menjadi awal dari perjuangannya melawan ketidakadilan. Namun setelahnya justru ia menghendaki bepergian dengan kelas tiga. Dengan begitu ia merasakan kedekatan dengan rakyat jelata, sekaligus bersinggungan dengan masalah yang nyata. Ia juga membangun komunitas-komunitas tempat orang bahu-membahu menyokong kehidupan bersama.

Puncaknya barangkali ketika ia memelopori gerakan ahimsa (nonkekerasan) dan swadesi dalam upaya menyingkirkan kolonialisasi Inggris atas India. Sebelum membaca autobiografinya, swadesi tampaknya satu-satunya hal yang saya ketahui tentang Gandhi karena berkali-kali menjadi hafalan dalam pelajaran IPS sewaktu SD. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.1, swadesi yaitu gerakan yang menganjurkan agar menggunakan barang-barang buatan sendiri. Salah satu upayanya dalam hal ini adalah dengan mencari jentera sampai ke pelosok India dan mengupah para tukang untuk mengurus kapas agar masyarakat dapat memulai membuat pakaiannya sendiri.

Prinsip-prinsipnya ini disebutnya sebagai eksperimen menuju Kebenaran. Ia seorang Hindu. Ia menghormati Kristen dan Islam, di samping terus memperdalam agamanya sendiri. Namun tuhannya, sebagaimana dikatakannya dalam halaman 444, adalah Kebenaran.

Di samping semangat asketisismenya itu, yang tidak kalah menakjubkan bagi saya ialah pada mulanya ia pemuda canggung dan pemalu. Ia disekolahkan ke Inggris supaya menjadi ahli hukum. Namun dalam masa awal praktiknya bertahun-tahun kemudian, ia bahkan tidak mampu berbicara saat persidangan. Ia merasa grogi saat harus berbicara di hadapan banyak orang. Sikap malunya ini tetap ada bahkan sewaktu namanya sudah dikenal. Namun hasratnya yang begitu besar untuk memperjuangkan keadilan dan mengabdi pada masyarakat tampaknya mengesampingkan kekurangannya itu.

Meski begitu, ada juga beberapa pandangannya yang tidak sesuai dengan saya, katakanlah, sehubungan dengan perbedaan kepercayaan. Adakalanya ia terlalu keras dengan prinsip-prinsipnya sendiri sehingga menimbulkan konflik dengan orang lain, atau mengakibatkan penderitaan bagi dirinya sendiri, dan ia menginsafi pula sifatnya itu. Jangankan dengan saya. Michael Hart tidak memasukkannya ke dalam Seratus Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia antara lain atas pertimbangan bahwa pengaruh dari gerakannya itu tidaklah sebesar yang dibayangkan, kendati ia tergolong ke dalam Orang-orang Terhormat. Winston Churcill menyebutnya naked fakir. Pembunuhnya, seorang Hindu-India yang militan, menganggapnya terlalu memihak pada Islam. Bagaimanapun juga, bagi saya hal-hal tersebut tidak memungkiri hal-hal lainnya yang patut diteladani dari dirinya.

7.3.15

Labyrinth [Amelia Gray]



Dalam jambore yang diadakannya, Dale membuat labirin jagung yang tidak biasa. Labirin jagung yang biasanya itu berupa maze, yang berarti jalannya lebih berlika-liku dengan pojok-pojok yang buntu. Adapun labirin kali ini adalah sebenar-benarnya labirin—labyrinth—yang berarti jalannya biarpun berkelak-kelok namun hanya satu dan menuju ke tempat tertentu. Selain itu, labirin kali ini didasarkan pada mitologi Yunani. Peserta harus masuk sendiri-sendiri sembari membawa sebuah lempengan (trivet) atau disebut juga Cakram Phaistos (Phaistos Disk). Mengetahui aturannya begitu, orang-orang mengurungkan niatnya untuk masuk. Kecuali Jim. Di samping simpatinya pada temannya, Dale, yang telah bersusah payah membangun labirin tersebut, serta perasaan sepi, bosan, dan ganjil kalau kembali ke rumah saja (it was lonely at home, where the TV had been broken for a week, and the tap water had begun to taste oddly of blood), sepertinya ia punya maksud lain. Jim pun memasuki labirin itu dengan membawa cakram yang beratnya bikin capek saja. Seiring dengan perjalanannya, ia mendengar suara orang-orang di luar labirin membicarakannya. Mula-mula mereka membicarakan tingkahnya yang pengecut sewaktu ada kebakaran kecil di acara hayride tahun lalu. Namun setelahnya orang-orang malah balik memuji keberaniannya memasuki labirin itu. Meski begitu, tiap kali Jim menghentikan langkahnya untuk mendengarkan baik-baik, obrolan itu tidak berlanjut. Begitulah seterusnya hingga Jim memutuskan untuk berjalan saja sambil mendengarkan pujian orang-orang untuknya yang lama-lama terasa berlebihan. Selain itu, ketika ia mencoba untuk berbalik arah, cakram yang dibawanya seperti menahannya, memaksanya untuk melanjutkan perjalanan (drawn all the while by the trivet, which seemed towed on a wire). Akhirnya sampailah ia di pusat labirin itu dan menemukan sebuah ceruk seukuran manusia yang seakan dipersiapkan untuk memuat dirinya. Cakram itu semakin kuat menariknya ke arah ceruk itu, bagaimanapun ia bersikeras menahannya. Tapi ia tidak ingin meletakkan cakram itu juga karena Dale telah berpesan agar ia menjaganya baik-baik. Setelahnya ia menyadari kalau ia tersangkut semacam akar. Namun ketika ia berteriak meminta bantuan, seiring dengan cakram itu mulai mencengkeram dadanya, ia menyadari kalau dirinya sendirian saja. Lalu ia bertemu Minotaur— monster berkepala sapi dan bertubuh manusia dalam mitologi Yunani yang memakan pemuda-pemudi Athena yang dikorbankan untuknya di Labirin Kreta. 

sumber
Cerpen ini dimuat di The New Yorker pada 16 Februari 2015. Bahasa Inggrisnya cenderung tidak baku sehingga terkesan ringan dan santai dengan narator orang pertama yang notabene warga sebuah kota kecil di Amerika Serikat (AS). Selain beberapa unsur dalam mitologi Yunani seperti Phaistos Disk dan Minotaur, dalam cerpen ini terdapat juga beberapa istilah yang merupakan tradisi khas AS—disebut juga Americana—seperti hayride (acara beramai-ramai menaiki truk berjalan yang bagian belakangnya dilapisi jerami), cakewalk (permainan menciptakan gerakan kaki semenarik mungkin yang pemenangnya mendapat hadiah berupa cake), serta corn maze alias labirin jagung itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia hanya terdapat satu kata untuk menyebut baik maze maupun labyrinth yaitu “labirin”, sedangkan pada cerpen ini diterangkan kalau keduanya ternyata berbeda. Maze itu multicursal—memiliki banyak jalan yang bisa jadi menyesatkan, sedangkan labyrinth itu unicursal—hanya ada satu jalan sehingga tidak mungkin tersasar (biarpun begitu, kalau labirinnya seperti labirin dalam cerpen ini sih ogah juga masuk terus ketemu Minotaur, hiii…!).

Dengan petunjuk dari Dale bahwa labirin ini dapat memberikan kita hal yang paling kita inginkan di dunia ini (in the center you discover the one thing you must desire in the world), mudah untuk mengerti maksud di balik adanya suara-suara yang didengar Jim sepanjang perjalanan menyusurinya. Motif Jim yang semula sekadar hendak menyenangkan temannya berkembang menjadi ingin dianggap sebagai pemberani. Apalagi kemudian ada petunjuk dari gunjingan orang-orang sesaat setelah ia berangkat bahwa ia pernah berbuat hal memalukan pada acara sebelumnya, yaitu melarikan diri ketika ada kebakaran kecil. Labirin ini lantas menjadi semacam pembuktian baginya bahwa ia bukanlah seorang pengecut. Namun rupanya labirin ini tidak sekadar menyingkap keinginan, tapi juga memendam kejutan mengerikan di akhirnya. Dari hasil penelusuran saya atas cerpen ini di Google, ada beberapa pembaca yang mengeluhkan akhirannya tersebut. Ada yang bagaimanapun juga menikmatinya saja secara keseluruhan seperti saya. (Saya juga tidak mempermasalahkan akhirannya itu sih, malah saya penasaran apakah Minotaur itu benar-benar akan memakan Jim dan bagaimana reaksi orang-orang di luar labirin apabila Jim tidak kunjung keluar dari labirin itu. Lagipula menyenangkan bisa menebak motif tersirat dari petunjuk-petunjuk yang diberikan.) Ada juga yang tidak puas karena mutu cerpen itu sendiri untuk media sekelas The New Yorker, di samping reputasi penulisnya yang dikenal sebagai hipster darling.

Bagaimanapun juga, gagasan dalam cerpen ini yaitu mengambil unsur dari mitologi kuno dan menempatkannya dalam latar kontemporer dan tradisi lokal menarik juga untuk dicoba sebagai latihan mengarang fiksi.

1.3.15

Tashawuf dan Ahli2 Tashawuf [M. Said]



Bicara tentang tasawuf berarti bicara tentang hakikat. Dalam hidupnya seorang manusia tentu pernah bertanya: Apakah hidup itu? Apakah tujuannya? “Djika manusia tidak mendekati Tuhannja, maka sia2-lah seluruh hidupnja. Sebab titik tudjuan hidup itu adalah mentjapai keridlaan Tuhan,” demikian yang tercantum dalam halaman 7 buku ini mengenai garis besar tasawuf.

Dalam buku ini beberapa kali disebutkan kata “semadi” sebagai salah satu laku tasawuf, yang bagi saya rancu, sebab mengingatkan pada tradisi kepercayaan lama atau kepercayaan lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersemadi berarti: v memusatkan segenap pikiran (dng meniadakan segala hasrat jasmaniah). Dalam bayangan saya, bersemadi berarti duduk bersila di dalam gua atau di atas batu besar di bawah guyuran air terjun atau di bawah pohon beringin di sebuah makam keramat dengan kedua belah tangan mengatup di depan dada atau rileks saja di atas lutut dan mengheningkan cipta hingga waktu yang tidak ditentukan. Bersemadi dapat pula diartikan sebagai “bermeditasi”, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v memusatkan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu; bertafakur. Bukankah salat itu sendiri sudah menyerupai “semadi”/”meditasi”?

Selain “bersemadi”, hidup sederhana dan berjuang di jalan Allah juga menjadi laku tasawuf sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para khalifah rasyid.

Dikatakan bahwa tasawuf telah ada sejak zaman jahiliyah, namanya berasal dari seorang ahli ibadah bernama Shufah. Ada juga yang mengatakan penamaannya berasal dari kata “shuf”, baju dari bulu yang menjadi ciri dari kalangan mereka; atau “shafa”, yang berarti suci; atau Ahlussuffah, yaitu kaum Muhajirin dan Ansar yang tidak memiliki apa-apa selain iman, Tuhan dan rasul-Nya dan tinggal di Shuffah, serambi belakang masjid, tempat mereka beribadah, berpuasa, mengaji Alquran, dan bersemadi. Pengertian yang lebih tepat menurut Qusyairy bermula dari pertentangan dalam umat Islam—beberapa angkatan sepeninggalan Rasulullah Saw—yang semakin memuncak sehingga beberapa ulama Ahlussunnah memisahkan diri untuk bertakarub pada Allah Swt dan sejak masa Imam Ahmad bin Hanbal mereka disebut sebagai ahli tasawuf.

Selanjutnya diterangkan mengenai beberapa ahli tasawuf beserta ajarannya masing-masing secara singkat, seperti Hudzaifah bin Yaman, Hasan Bashry, Uwais Alqarny, Ibrahim bin Adham, Abud Yazid Albusthamy, Bisyir Alhafy, Malik bin Dinar, Rabi’ah Al-‘adawiyah, Djunaid, Dzinnun Al Misry, Abul Husain Annury, Imam Alghazaly, Ibin ‘Atha Assakandary, Abdulqadir Jailany, dan Sayid Ahmad Al-Badawy.

Pelajaran tasawuf dalam Islam terdiri dari pendidikan kerohanian dan pendidikan budi pekerti (ilmulmu’amalah: cara-cara hidup bermasyarakat) serta latihan kerohanian dengan jalan beribadah dan mencintai Tuhan untuk memperoleh ilham (tarikat). Tarekat terbagi menjadi empat fase.

Fase I, yaitu berpaling dari keduniawian dan kemewahan, memencilkan diri dengan iktikaf, zikir, istigfar, sembahyang, di samping menjalankan kewajiban fardu, sunah, dan tatawwu’.

Fase II, yaitu masa praktik batin dengan jalan keluhuran budi, kesucian hati, kemurnian jiwa, melawan nafsu, dan memperindah akhlak.

Fase III, yaitu masa latihan dan perjuangan untuk menguatkan jiwa, melepaskannya dari kekotoran keduniawian sehingga sampai pada keridaan dan nurani yang tinggi.

Fase IV, yaitu peleburan secara keseluruhan sehingga saat bermunajat seluruh perasaan pancaindra menjadi lenyap dan sampailah jiwa pada tingkat hakikat. Fase ini bisa jadi berbahaya apabila keimanan kurang kuat, sehingga kesadaran menghilang lantas menjadi sinting atau abnormal.

Diterangkan juga secara singkat perbedaan antara syariat dan hakikat yang mengacu pada kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa, serta keterkaitan antara tasawuf dan cinta sebagaimana difirmankan dalam Alquran: “Katakanlah, jika kamu masih lebih mencintai orangtuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum kerabatmu, harta benda yang kamu kumpulkan, perdagangamu yang kamu takutkan rugi, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan lebih kamu sukai daripada berjuang di jalan Allah, maka tunggulah, nanti Allah akan bertindak tegas terhadapmu.”