1.3.15

Tashawuf dan Ahli2 Tashawuf [M. Said]



Bicara tentang tasawuf berarti bicara tentang hakikat. Dalam hidupnya seorang manusia tentu pernah bertanya: Apakah hidup itu? Apakah tujuannya? “Djika manusia tidak mendekati Tuhannja, maka sia2-lah seluruh hidupnja. Sebab titik tudjuan hidup itu adalah mentjapai keridlaan Tuhan,” demikian yang tercantum dalam halaman 7 buku ini mengenai garis besar tasawuf.

Dalam buku ini beberapa kali disebutkan kata “semadi” sebagai salah satu laku tasawuf, yang bagi saya rancu, sebab mengingatkan pada tradisi kepercayaan lama atau kepercayaan lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersemadi berarti: v memusatkan segenap pikiran (dng meniadakan segala hasrat jasmaniah). Dalam bayangan saya, bersemadi berarti duduk bersila di dalam gua atau di atas batu besar di bawah guyuran air terjun atau di bawah pohon beringin di sebuah makam keramat dengan kedua belah tangan mengatup di depan dada atau rileks saja di atas lutut dan mengheningkan cipta hingga waktu yang tidak ditentukan. Bersemadi dapat pula diartikan sebagai “bermeditasi”, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v memusatkan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu; bertafakur. Bukankah salat itu sendiri sudah menyerupai “semadi”/”meditasi”?

Selain “bersemadi”, hidup sederhana dan berjuang di jalan Allah juga menjadi laku tasawuf sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para khalifah rasyid.

Dikatakan bahwa tasawuf telah ada sejak zaman jahiliyah, namanya berasal dari seorang ahli ibadah bernama Shufah. Ada juga yang mengatakan penamaannya berasal dari kata “shuf”, baju dari bulu yang menjadi ciri dari kalangan mereka; atau “shafa”, yang berarti suci; atau Ahlussuffah, yaitu kaum Muhajirin dan Ansar yang tidak memiliki apa-apa selain iman, Tuhan dan rasul-Nya dan tinggal di Shuffah, serambi belakang masjid, tempat mereka beribadah, berpuasa, mengaji Alquran, dan bersemadi. Pengertian yang lebih tepat menurut Qusyairy bermula dari pertentangan dalam umat Islam—beberapa angkatan sepeninggalan Rasulullah Saw—yang semakin memuncak sehingga beberapa ulama Ahlussunnah memisahkan diri untuk bertakarub pada Allah Swt dan sejak masa Imam Ahmad bin Hanbal mereka disebut sebagai ahli tasawuf.

Selanjutnya diterangkan mengenai beberapa ahli tasawuf beserta ajarannya masing-masing secara singkat, seperti Hudzaifah bin Yaman, Hasan Bashry, Uwais Alqarny, Ibrahim bin Adham, Abud Yazid Albusthamy, Bisyir Alhafy, Malik bin Dinar, Rabi’ah Al-‘adawiyah, Djunaid, Dzinnun Al Misry, Abul Husain Annury, Imam Alghazaly, Ibin ‘Atha Assakandary, Abdulqadir Jailany, dan Sayid Ahmad Al-Badawy.

Pelajaran tasawuf dalam Islam terdiri dari pendidikan kerohanian dan pendidikan budi pekerti (ilmulmu’amalah: cara-cara hidup bermasyarakat) serta latihan kerohanian dengan jalan beribadah dan mencintai Tuhan untuk memperoleh ilham (tarikat). Tarekat terbagi menjadi empat fase.

Fase I, yaitu berpaling dari keduniawian dan kemewahan, memencilkan diri dengan iktikaf, zikir, istigfar, sembahyang, di samping menjalankan kewajiban fardu, sunah, dan tatawwu’.

Fase II, yaitu masa praktik batin dengan jalan keluhuran budi, kesucian hati, kemurnian jiwa, melawan nafsu, dan memperindah akhlak.

Fase III, yaitu masa latihan dan perjuangan untuk menguatkan jiwa, melepaskannya dari kekotoran keduniawian sehingga sampai pada keridaan dan nurani yang tinggi.

Fase IV, yaitu peleburan secara keseluruhan sehingga saat bermunajat seluruh perasaan pancaindra menjadi lenyap dan sampailah jiwa pada tingkat hakikat. Fase ini bisa jadi berbahaya apabila keimanan kurang kuat, sehingga kesadaran menghilang lantas menjadi sinting atau abnormal.

Diterangkan juga secara singkat perbedaan antara syariat dan hakikat yang mengacu pada kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa, serta keterkaitan antara tasawuf dan cinta sebagaimana difirmankan dalam Alquran: “Katakanlah, jika kamu masih lebih mencintai orangtuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum kerabatmu, harta benda yang kamu kumpulkan, perdagangamu yang kamu takutkan rugi, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan lebih kamu sukai daripada berjuang di jalan Allah, maka tunggulah, nanti Allah akan bertindak tegas terhadapmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar