Bicara
tentang tasawuf berarti bicara tentang hakikat. Dalam hidupnya seorang manusia
tentu pernah bertanya: Apakah hidup itu? Apakah tujuannya? “Djika manusia tidak
mendekati Tuhannja, maka sia2-lah seluruh hidupnja. Sebab titik
tudjuan hidup itu adalah mentjapai keridlaan Tuhan,” demikian yang tercantum
dalam halaman 7 buku ini mengenai garis besar tasawuf.
Dalam buku ini beberapa kali disebutkan
kata “semadi” sebagai salah satu laku tasawuf, yang bagi saya rancu, sebab
mengingatkan pada tradisi kepercayaan lama atau kepercayaan lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersemadi
berarti: v memusatkan segenap
pikiran (dng meniadakan segala hasrat jasmaniah). Dalam bayangan saya, bersemadi
berarti duduk bersila di dalam gua atau di atas batu besar di bawah guyuran air
terjun atau di bawah pohon beringin di sebuah makam keramat dengan kedua belah
tangan mengatup di depan dada atau rileks saja di atas lutut dan mengheningkan
cipta hingga waktu yang tidak ditentukan. Bersemadi dapat pula diartikan
sebagai “bermeditasi”, yang menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti: v memusatkan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu;
bertafakur. Bukankah salat itu
sendiri sudah menyerupai “semadi”/”meditasi”?
Selain “bersemadi”, hidup sederhana dan berjuang di jalan Allah juga menjadi
laku tasawuf sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para khalifah rasyid.
Dikatakan bahwa tasawuf telah ada sejak zaman jahiliyah, namanya berasal
dari seorang ahli ibadah bernama Shufah. Ada juga yang mengatakan penamaannya
berasal dari kata “shuf”, baju dari bulu yang menjadi ciri dari kalangan
mereka; atau “shafa”, yang berarti suci; atau Ahlussuffah, yaitu kaum Muhajirin
dan Ansar yang tidak memiliki apa-apa selain iman, Tuhan dan rasul-Nya dan
tinggal di Shuffah, serambi belakang masjid, tempat mereka beribadah, berpuasa,
mengaji Alquran, dan bersemadi. Pengertian yang lebih tepat menurut Qusyairy
bermula dari pertentangan dalam umat Islam—beberapa angkatan sepeninggalan
Rasulullah Saw—yang semakin memuncak sehingga beberapa ulama Ahlussunnah
memisahkan diri untuk bertakarub pada Allah Swt dan sejak masa Imam Ahmad bin
Hanbal mereka disebut sebagai ahli tasawuf.
Selanjutnya diterangkan mengenai beberapa ahli tasawuf beserta ajarannya
masing-masing secara singkat, seperti Hudzaifah bin Yaman, Hasan Bashry, Uwais
Alqarny, Ibrahim bin Adham, Abud Yazid Albusthamy, Bisyir Alhafy, Malik bin
Dinar, Rabi’ah Al-‘adawiyah, Djunaid, Dzinnun Al Misry, Abul Husain Annury,
Imam Alghazaly, Ibin ‘Atha Assakandary, Abdulqadir Jailany, dan Sayid Ahmad
Al-Badawy.
Pelajaran tasawuf dalam Islam terdiri dari pendidikan kerohanian dan
pendidikan budi pekerti (ilmulmu’amalah:
cara-cara hidup bermasyarakat) serta latihan kerohanian dengan jalan beribadah
dan mencintai Tuhan untuk memperoleh ilham (tarikat).
Tarekat terbagi menjadi empat fase.
Fase I, yaitu berpaling dari keduniawian dan kemewahan, memencilkan diri
dengan iktikaf, zikir, istigfar, sembahyang, di samping menjalankan kewajiban
fardu, sunah, dan tatawwu’.
Fase II, yaitu masa praktik batin dengan jalan keluhuran budi, kesucian
hati, kemurnian jiwa, melawan nafsu, dan memperindah akhlak.
Fase III, yaitu masa latihan dan perjuangan untuk menguatkan jiwa,
melepaskannya dari kekotoran keduniawian sehingga sampai pada keridaan dan
nurani yang tinggi.
Fase IV, yaitu peleburan secara keseluruhan sehingga saat bermunajat
seluruh perasaan pancaindra menjadi lenyap dan sampailah jiwa pada tingkat
hakikat. Fase ini bisa jadi berbahaya apabila keimanan kurang kuat, sehingga
kesadaran menghilang lantas menjadi sinting atau abnormal.
Diterangkan juga secara singkat perbedaan antara syariat dan hakikat yang
mengacu pada kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa, serta keterkaitan antara tasawuf
dan cinta sebagaimana difirmankan
dalam Alquran: “Katakanlah, jika kamu masih lebih mencintai orangtuamu,
anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum kerabatmu, harta benda yang
kamu kumpulkan, perdagangamu yang kamu takutkan rugi, lebih kamu cintai
daripada Allah dan Rasul-Nya dan lebih kamu sukai daripada berjuang di jalan
Allah, maka tunggulah, nanti Allah akan bertindak tegas terhadapmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar