sumber |
Buku ini diterbitkan oleh Irsyad Baitus
Salam menyusul suksesnya buku semacam yang berjudul Laa Tahzan atau dalam bahasa Indonesianya yaitu Jangan Bersedih. Karena tidak menemukan
buku yang pertama, maka buku inilah yang lebih dulu saya baca. Tebalnya 360
halaman sehingga butuh waktu cukup lama untuk menamatkannya, selain karena
mungkin memang ada baiknya membaca pelan-pelan sekalian meresapinya. Lebih dari
enam puluh halaman pertamanya berisi kata-kata mutiara yang berasal dari sosok
sufi pujaan penulis, yaitu Yahya bin Mu’adz Ar-Razi. Selanjutnya barulah berupa
uraian.
Dalam beberapa bagian diutarakan mengenai
keutamaan zuhud. Misalnya pada bagian “Putra mahkota dan orang miskin” (halaman
234) yang berkisah tentang ‘Ali, putra mahkota Al-Ma’mun, khalifah ‘Abbasiyyah,
yang suatu ketika mengamati kehidupan seorang kuli dan mengundangnya ke istana
serta menawarkannya berbagai kemudahan. Sikap kuli yang lebih memilih untuk
hidup sekadarnya membuat Putra Mahkota merenung dan akhirnya memutuskan untuk
meninggalkan istana dan bekerja sebagai orang miskin hingga ajalnya. Kisah ini
mengingatkan pada Siddharta Gautama, kecuali yang disebut terakhir ini kemudian
membuat aliran kepercayaan sendiri.
Isi buku ini baik meski ada beberapa
bagian yang memberi peringatan keras. Berkali-kali disebut tentang Ahmad bin
Hanbal. Mungkin karena itulah; penulis berasal dari jazirah Arab yang menganut
mazhab Hambali sehingga pandangannya terkesan demikian. Maka pembacaan kadang terasa
menenteramkan, kadang terasa menakutkan. Segala yang baik-baik itu bercampur
aduk dalam kepala; hal-hal yang barangkali sudah diketahui sejak lama lantas
dimunculkan lagi ke permukaan dengan membaca buku ini, karena saya tidak
benar-benar mengingat yang baru, namun pengulang-ulangan seperti itu barangkali
memang perlu, sebab begitu jam membaca buku ini usai, segala ancaman,
peringatan, dan sebagainya yang tercantum di dalamnya seketika menguap, didera
unsur-unsur duniawi yang menyita sebagian besar waktu dan pikiran dalam sehari.
Sungguhpun demikian, membacanya
sebaiknya disertai mengingat amanat dari cerpen “Robohnya Surau Kami” – A. A.
Navis, agar kesalehan sebagaimana dianjurkan dalam buku ini bukan hanya untuk
pribadi sebab toh bisa jadi sia-sia belaka. Sebagaimana salah satu pesan dalam
buku ini pula, yang dimulai sejak halaman 304, semua amal perbuatan dinilai menurut kesudahannya. Jadi apapun,
siapapun, sosok yang kita anggap suci, mulia, dan sebagainya sekarang ini,
wallahualam bagaimana kesudahan hidupnya dan apa yang sesungguhnya berada dalam
dirinya. Itu merupakan makna kalam
(halaman 312) atau termasuk rahasia, pemaafan, dan rahmat dari Allah. Sebab
sekiranya Allah memberitahukan pada manusia mengenai kesudahan dari amalnya,
kalau itu baik maka ia akan merasa besar diri dan malas beribadah, sedangkan
kalau itu buruk, maka ia akan putus asa dan bertambah angkuh serta membangkang.
Demikian supaya manusia selalu berada di antara takut dan harap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar