14.3.15

Cambuk Hati [Dr. ‘Aidh bin ‘Abdullah Al-Qarni]


sumber

Buku ini diterbitkan oleh Irsyad Baitus Salam menyusul suksesnya buku semacam yang berjudul Laa Tahzan atau dalam bahasa Indonesianya yaitu Jangan Bersedih. Karena tidak menemukan buku yang pertama, maka buku inilah yang lebih dulu saya baca. Tebalnya 360 halaman sehingga butuh waktu cukup lama untuk menamatkannya, selain karena mungkin memang ada baiknya membaca pelan-pelan sekalian meresapinya. Lebih dari enam puluh halaman pertamanya berisi kata-kata mutiara yang berasal dari sosok sufi pujaan penulis, yaitu Yahya bin Mu’adz Ar-Razi. Selanjutnya barulah berupa uraian.

Dalam beberapa bagian diutarakan mengenai keutamaan zuhud. Misalnya pada bagian “Putra mahkota dan orang miskin” (halaman 234) yang berkisah tentang ‘Ali, putra mahkota Al-Ma’mun, khalifah ‘Abbasiyyah, yang suatu ketika mengamati kehidupan seorang kuli dan mengundangnya ke istana serta menawarkannya berbagai kemudahan. Sikap kuli yang lebih memilih untuk hidup sekadarnya membuat Putra Mahkota merenung dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istana dan bekerja sebagai orang miskin hingga ajalnya. Kisah ini mengingatkan pada Siddharta Gautama, kecuali yang disebut terakhir ini kemudian membuat aliran kepercayaan sendiri.

Isi buku ini baik meski ada beberapa bagian yang memberi peringatan keras. Berkali-kali disebut tentang Ahmad bin Hanbal. Mungkin karena itulah; penulis berasal dari jazirah Arab yang menganut mazhab Hambali sehingga pandangannya terkesan demikian. Maka pembacaan kadang terasa menenteramkan, kadang terasa menakutkan. Segala yang baik-baik itu bercampur aduk dalam kepala; hal-hal yang barangkali sudah diketahui sejak lama lantas dimunculkan lagi ke permukaan dengan membaca buku ini, karena saya tidak benar-benar mengingat yang baru, namun pengulang-ulangan seperti itu barangkali memang perlu, sebab begitu jam membaca buku ini usai, segala ancaman, peringatan, dan sebagainya yang tercantum di dalamnya seketika menguap, didera unsur-unsur duniawi yang menyita sebagian besar waktu dan pikiran dalam sehari.

Sungguhpun demikian, membacanya sebaiknya disertai mengingat amanat dari cerpen “Robohnya Surau Kami” – A. A. Navis, agar kesalehan sebagaimana dianjurkan dalam buku ini bukan hanya untuk pribadi sebab toh bisa jadi sia-sia belaka. Sebagaimana salah satu pesan dalam buku ini pula, yang dimulai sejak halaman 304, semua amal perbuatan dinilai menurut kesudahannya. Jadi apapun, siapapun, sosok yang kita anggap suci, mulia, dan sebagainya sekarang ini, wallahualam bagaimana kesudahan hidupnya dan apa yang sesungguhnya berada dalam dirinya. Itu merupakan makna kalam (halaman 312) atau termasuk rahasia, pemaafan, dan rahmat dari Allah. Sebab sekiranya Allah memberitahukan pada manusia mengenai kesudahan dari amalnya, kalau itu baik maka ia akan merasa besar diri dan malas beribadah, sedangkan kalau itu buruk, maka ia akan putus asa dan bertambah angkuh serta membangkang. Demikian supaya manusia selalu berada di antara takut dan harap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar