28.2.15

The Magdalen [Marita Conlon-McKenna]



Alkisah, ada seorang gadis desa bernama Esther Doyle. Ayahnya nelayan. Ibunya bekerja di rumah. Ia punya banyak saudara laki-laki: dua kakak dan tiga adik. Cerita dibuka dengan adegan Esther yang tengah bersiap melahirkan pada 1952, lalu mundur hingga delapan tahun sebelumnya ketika ia membantu kelahiran adik perempuannya. Keluarga Doyle bukanlah keluarga berada. Tangkapan di laut tidak selalu memuaskan, banyak mulut di rumah yang mesti diberi makan. Ayah Esther kemudian tewas ketika hendak berlayar lebih lama dalam cuaca yang memburuk demi memperoleh lebih banyak tangkapan. Berkat uluran tangan tetangga, keluarga itu dapat bertahan. Esther tumbuh menjadi cantik jelita namun harus berhenti sekolah demi membantu pekerjaan harian ibunya di rumah serta menjaga si bungsu yang mengalami keterbelakangan mental. Di suatu pesta, Esther bertemu dengan pemuda asing bernama Connor dan mereka pun jatuh cinta pada satu sama lain. Namun Connor, seperti nama panggilannya—Con, kemudian tidak mau bertanggung jawab ketika Esther hamil karenanya. Ia malah hendak menikahi seorang perawan tua yang sekaligus majikannya. Karena tinggal dalam lingkungan Katolik yang taat, kehamilan Esther pun menjadi aib bagi keluarga. Esther diasingkan ke sebuah pusat rehabilitasi bernama Magdalen Laundry di Dublin yang dikelola oleh para biarawati. Di sana ia diberi tempat tinggal, makanan tiga kali sehari, dan berbagai fasilitas lainnya, namun sebagai gantinya ia mesti bekerja keras di binatu. Kondisi yang sering kali jauh dari layak itu dianggap sebagai penebusan dosa. Sebagian dari penghuni di tempat itu bernasib sama seperti dirinya—hamil di luar pernikahan dan dibuang oleh keluarga, tapi ada juga yang disebabkan oleh alasan-alasan lain. Namun pada dasarnya mereka semua dianggap sebagai pendosa dan dipandang rendah dalam masyarakat yang religius.

sumber
Selain karena ceritanya itu sendiri, yang membikin novel terbitan Dastan Books[1] ini menarik yaitu karena latarnya nyata sebagaimana diterangkan di sampul belakang. Di Irlandia terdapat banyak pusat rehabilitasi semacam itu sejak pertengahan abad ke-19 hingga 1996. Secara keseluruhan keterangan di sampul belakang membikin jalan cerita mudah ditebak sementara pembacaan. Namun toh itu tidak mengurangi keasyikan menyusuri isinya dari awal sampai akhir, setiap detail adegan dan pergolakan batin Esther yang memancing simpati. Tentunya itu tidak terlepas dari peranan penerjemah. Namun sering kali ada pola kalimat yang rasanya kurang lurus walaupun bisa dimengerti sebagai berikut.

Mengabaikan kerasnya kasur, dia melepas sepatu dan menarik selimut satin merah muda berpola. –halaman 282

 Membalikkan badan, Esther bisa merasakan sedikit gerakan saat bayinya bergerak dan menendang lagi dalam perutnya. –halaman 368

Menghentikan pekerjaannya, Esther berlari untuk mengeringkan tangan. –halaman 424


[1] Jakarta, cetakan 1, 2007

27.2.15

Menudju Pengertian Islam [S. Abul Ala Maududi]

Agak sulit membaca buku ini padahal penjelasannya mungkin sederhana saja, mendasar, maksudnya, bagi siapapun yang beragama Islam dan pernah mendapatkan pelajaran Pendidikan Agama Islam semasa sekolah, uraian dalam buku ini bukan hal asing lagi, malah seharusnya dapat menambah pemahaman.

Dalam 128 halaman, buku terbitan CV Sulita, Bandung, ini memaparkan tentang Islam (sebab penamaan Islam, arti kata Islam, kekufuran—sifat dan bahayanya, faedah Islam), keimanan pada Tuhan dan ketaatan kepada-Nya (pengetahuan dan pentingnya iman serta pengakuan untuk taat pada Tuhan, pengertian iman, cara mendapatkan ilmu pengetahuan, iman kepada yang tidak diketahui), kenabian (sifatnya, cara mengetahui nabi yang sebenarnya, menaati nabi, perlunya iman kepada nabi, riwayat ringkas tentang kenabian, kenabian Muhammad Saw, bukti kerasulan Muhammad Saw, kenabian terakhir), rukun iman (perincian iman, beriman kepada Tuhan, arti lailaha ilallah dan pengertian yang sebenarnya, pengaruh tauhid atas kehidupan seseorang, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab Tuhan, iman kepada rasul-rasul Tuhan, iman kepada hari akhirat, perlunya mempercayai hari akhirat, kebenaran iman kepada hari akhirat), peribadahan dalam Islam (rukun Islam; semangat dari ibadah, sembahyang, puasa, zakat, haji, mempertahankan Islam), lalu kembali pada soal iman dan hukum agama (sumber-sumber hukum agama, fikih, tasawuf, syariat hukum Islam, dasar-dasar syariat Islam, macam-macam hak, hak Tuhan, hak perorangan, hak orang lain, hak semua makhluk, hukum abadi dan universal).

Barangkali permasalahan dalam pembacaan sepenuhnya dari diri saya sendiri yang biarpun generasi muda tapi pikirannya sudah berkabut serta kecerdasannya telah melapuk, atau karena buku ini diterbitkan pada 1967—hampir separuh abad lalu, dengan ejaan yang belum disempurnakan (y = j, d = dj, c = tj, dst.) dan gaya tutur seperti khatib yang sudah sangat sepuh, sehingga memang nyata hambatan dalam bahasa. Buku ini tidak cukup dibaca sekali apalagi sepintas lalu saja.

Dari subbab tentang cara mendapatkan ilmu pengetahuan, misalnya, ada pernyataan yang mengena bagi saya namun setelah dibaca ulang sebetulnya membingungkan: Untuk merumuskan satu undang-undang dengan hanja memakai otak manusia jang sesuai dengan keinginan Tuhan, adalah pekerdjaan yang maha berat. Bila seseorang mempunjai perasaan jang dalam dan kebidjaksanaan jang tinggi, mungkin ia beberapa tahun mempunjai pengalaman, menegakkan pendapat jang sah dalam hal-hal jang mengenai kehidupan, ia masih djuga tidak akan mempunjai kejakinan bahwa ia telah mempunyai kepertjajaan penuh (halaman 29). Kalimat terakhir dalam paragraf itu sulit dipahami tanpa membaca kalimat sebelumnya. Maksud “dengan hanja memakai otak manusia jang sesuai dengan keinginan Tuhan” itu juga bukannya bisa dipahami saya seutuhnya.


26.2.15

Gayagay [Dann Julian]



sumber
Judul buku ini dilengkapi dengan keterangan: Kontroversi Dunia Gay Investigasi Jurnalistik Mendalam. Sepintas keterangan tersebut bisa jadi mengecoh, apalagi kalau berpikir “investigasi jurnalistik mendalam” itu mestilah sesuatu yang faktual. Di sampul belakang para endorser yang terdiri dari Ayu Azhari, Rayni N. Massardi, Emma Warokka, dan Dewi Aida menyebutkan bahwa buku ini sebetulnya novel—fiksi. Di halaman kedua tercantum pula penegasan: Dikemas Secara Fiksi. Lebih lanjut dalam “Sekapur Sirih” dijelaskan bahwa novel ini berdasarkan investigasi jurnalistik.

Seperti yang dituturkan endorser, hal-hal dalam buku ini mungkin saja memang nyata. Pembaca dibikin menebak-nebak, ini benar atau tidak? Misal saja, ajang-ajangan penobatan itu tidak murni ditentukan penilaian dewan juri, survei, atau semacamnya, tapi juga ditentukan oleh adanya duit, atau; sebagian dari mereka yang bergiat di dunia mode adalah gay; dan seterusnya.

Bagaimanapun juga, sebagai sebuah kisah, novel ini menarik, cara penyampaiannya pun lurus saja sehingga mudah diikuti. Ada banyak karakter dalam novel ini dan masing-masingnya memiliki peranan yang kuat dalam menentukan nasib karakter lainnya. Sebagian dari mereka pada mulanya memiliki orientasi seksual yang lurus-lurus saja. Tapi karena bekerja pada si A, berpacaran dengan si B, bertetangga dengan si C, maka si D, si E, si F menjadi homoseksual, atau biseksual. Proses berubahnya perilaku seseorang bisa jadi mencengangkan, dan justru di situlah serunya—sensasinya. Seperti yang terungkap dalam pikiran salah satu tokoh di halaman 224, gay ada empat macam: Pertama, karena bawaan; Kedua, karena ikut-ikutan; Ketiga, karena miskin lantas menjual diri, dan; Keempat, karena pelarian dari berbagai latar belakang seperti broken home atau membenci sosok bapak. Tapi toh tidak mudah juga mengkotak-kotakkan orang seperti itu karena bisa jadi penyebabnya terdiri dari beberapa faktor sekaligus. Ada gay yang bawaan tapi kemudian menjual diri karena membutuhkan uang, misalnya. Selain itu, walaupun dalam “Sekapur Sirih” penulis menerangkan bahwa dirinya tidak hendak “bersikap”, namun bagaimanapun juga saya dapat menangkap suatu amanat, di antaranya, kita tidak sebaiknya hidup dalam kebohongan, menjerumuskan orang lain dalam perbuatan nafsu, maupun terlalu berprasangka.

Namun sayangnya kisah yang menarik ini tidak dikemas secara rapi. Selain nama pengarang, desain sampul, dan penata letak, tidak tercantum nama editor. Maka tidak mengherankan, buku yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan[1] ini bisa menjadi bahan latihan bagi yang hendak mempelajari penyuntingan. Contoh di halaman 59: Otak Jay serasa stag hendak meneruskan mengetik hasil wawancara dengan Arti. Atau di halaman 62: High hills yang dikenakan membuat cara jalannya makin menarik, tubuhnya nampak lebih tinggi. Coba bukalah kamus Inggris-Indonesia dan cari arti kata-kata yang dicetak tebal itu, maka pengertian kalimat akan terasa membingungkan. Belum lagi penggunaan “di” yang kadangkala tidak pada tempatnya (imbuhan atau kata depan) berserakan di mana-mana. Yang paling menyebalkan, antara halaman 308 dan 309 ada adegan yang terpotong. Nomor halamannya sih berurutan, tapi isinya tidak nyambung antara halaman satu dan halaman berikutnya.


[1]  Jakarta, cetakan pertama, 2011