11.2.15

Islam dan Kemerdekaan Beragama [K. H. Oesman Mansoer]




Di dunia ini ada tiga hal yang menentukan arah perkembangan dan kemajuan (sekaligus pendirian hidup) manusia, yaitu filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama. Antara yang satu dengan yang lain-lainnya tidak bisa disamakan, malah terdapat banyak pertentangan. Filsafat dapat membuat orang menjadi ateis; ilmu pengetahuan dapat membuat orang menjadi sekularis, materialis, dan, akhirnya, ateis; sedangkan perbedaan agama sejak dahulu dapat menuai konflik bahkan peperangan, sebagai contoh Perang Salib yang berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Dunia pun menginsafi bahwa setiap manusia memiliki hak untuk menentukan agamanya sendiri. Mulai dari dua tokoh negarawan Barat—Presiden Roosevelt dari Amerika Serikat dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill—melalui Piagam Atlantik sampai PBB dalam pasal “The declaration of the universal human rights” mencantumkan hal itu. Paham ini dianggap demokratis, tapi juga sekularis.

Dalam Bab III, “Islam dan Kemerdekaan Beragama”, buku ini mengajukan bahwa paham kemerdekaan beragama berasal dari ajaran Islam dan bukan akibat dari adanya “modern kultur dan civilization”. Sumbernya bisa diteliti dari: 1. Alquran sebagai kitab suci umat Islam; 2. Fakta sejarah, yaitu pada masa umat Islam mengalami kejayaan dan berkuasa untuk melaksanakan ajaran Alquran sehubungan dengan paham kemerdekaan beragama (sebut saja Q. S. Al-Baqarah: 256; Yunus: 99-101, Ali Imran: 20, dst), dan beberapa penulis Barat seperti Prof. Huston Smith dalam The Religions of Man serta Prof. Sir T. W. Arnold dalam The Preaching of Islam pun mengakuinya.

Buku seukuran buku tulis yang hanya setebal empat puluh halaman ini diterbitkan oleh CV Nur Cahaya, Yogyakarta, pertama kali pada 1980. Uraian di dalamnya adakalanya dikaitkan dengan wawasan kebangsaan yang marak disampaikan pada masyarakat Indonesia pada masa itu, dan malah secara khusus dipaparkan dalam Bab IV yang berjudul “Republik Indonesia dan Kemerdekaan Beragama”. Contoh saja, dalam pembahasan tentang filsafat dikatakan bahwa terdapat dua golongan yakni golongan yang percaya kepada Tuhan (filsafat ketuhanan) dan golongan yang tidak percaya kepada Tuhan (filsafat antiketuhanan). Kedua golongan yang bertentangan ini pernah dicoba untuk disatukan dalam wadah demokrasi terpimpin berdasarkan Pancasila (Nasakom), namun gagal dan puncaknya terjadi peristiwa G30S/PKI (halaman 10). “Kemerdekaan beragama” sebagaimana tercantum dalam judul itu sendiri toh merupakan bagian dari Undang-undang Dasar Republik Indonesia, sehingga setiap warga negara wajib menghayatinya.

Umat Islam di Indonesia memiliki karakter yang reaktif dan ekstensif. Di satu sisi, karakter ini terbukti dapat menjadi kekuatan yang besar dalam menahan serangan tentara sekutu pada permulaan revolusi 1945 di Surabaya (yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan) serta mengatasi gerakan komunis. Di sisi lain, buku ini menginsafi bahwa toleransi itu sukar dipraktikan disebabkan faktor-faktor seperti tidak adanya kesadaran bernegara yang merata di kalangan rakyat, rasa fanatik terhadap agamanya sendiri, serta ajaran dakwah dari masing-masing agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar