Di dunia ini ada tiga hal yang menentukan arah
perkembangan dan kemajuan (sekaligus pendirian hidup) manusia, yaitu filsafat,
ilmu pengetahuan, dan agama. Antara yang satu dengan yang lain-lainnya tidak
bisa disamakan, malah terdapat banyak pertentangan. Filsafat dapat membuat
orang menjadi ateis; ilmu pengetahuan dapat membuat orang menjadi sekularis,
materialis, dan, akhirnya, ateis; sedangkan perbedaan agama sejak dahulu dapat
menuai konflik bahkan peperangan, sebagai contoh Perang Salib yang berlangsung
hingga berabad-abad lamanya. Dunia pun menginsafi bahwa setiap manusia memiliki
hak untuk menentukan agamanya sendiri. Mulai dari dua tokoh negarawan Barat—Presiden
Roosevelt dari Amerika Serikat dan Perdana Menteri Inggris Winston
Churchill—melalui Piagam Atlantik sampai PBB dalam pasal “The declaration of
the universal human rights” mencantumkan hal itu. Paham ini dianggap
demokratis, tapi juga sekularis.
Dalam Bab III, “Islam dan Kemerdekaan Beragama”,
buku ini mengajukan bahwa paham kemerdekaan beragama berasal dari ajaran Islam
dan bukan akibat dari adanya “modern kultur dan civilization”. Sumbernya bisa
diteliti dari: 1. Alquran sebagai kitab suci umat Islam; 2. Fakta sejarah, yaitu
pada masa umat Islam mengalami kejayaan dan berkuasa untuk melaksanakan ajaran
Alquran sehubungan dengan paham kemerdekaan beragama (sebut saja Q. S.
Al-Baqarah: 256; Yunus: 99-101, Ali Imran: 20, dst), dan beberapa penulis Barat
seperti Prof. Huston Smith dalam The
Religions of Man serta Prof. Sir T. W. Arnold dalam The Preaching of Islam pun mengakuinya.
Buku seukuran buku tulis yang hanya setebal empat
puluh halaman ini diterbitkan oleh CV Nur Cahaya, Yogyakarta, pertama kali pada
1980. Uraian di dalamnya adakalanya dikaitkan dengan wawasan kebangsaan yang
marak disampaikan pada masyarakat Indonesia pada masa itu, dan malah secara
khusus dipaparkan dalam Bab IV yang berjudul “Republik Indonesia dan
Kemerdekaan Beragama”. Contoh saja, dalam pembahasan tentang filsafat dikatakan
bahwa terdapat dua golongan yakni golongan yang percaya kepada Tuhan (filsafat
ketuhanan) dan golongan yang tidak percaya kepada Tuhan (filsafat
antiketuhanan). Kedua golongan yang bertentangan ini pernah dicoba untuk
disatukan dalam wadah demokrasi terpimpin berdasarkan Pancasila (Nasakom),
namun gagal dan puncaknya terjadi peristiwa G30S/PKI (halaman 10). “Kemerdekaan
beragama” sebagaimana tercantum dalam judul itu sendiri toh merupakan bagian dari
Undang-undang Dasar Republik Indonesia, sehingga setiap warga negara wajib
menghayatinya.
Umat Islam di Indonesia memiliki karakter yang
reaktif dan ekstensif. Di satu sisi, karakter ini terbukti dapat menjadi
kekuatan yang besar dalam menahan serangan tentara sekutu pada permulaan
revolusi 1945 di Surabaya (yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan)
serta mengatasi gerakan komunis. Di sisi lain, buku ini menginsafi bahwa
toleransi itu sukar dipraktikan disebabkan faktor-faktor seperti tidak adanya
kesadaran bernegara yang merata di kalangan rakyat, rasa fanatik terhadap
agamanya sendiri, serta ajaran dakwah dari masing-masing agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar