Sepertinya aku keranjingan
baca novel lagi. Ini gawat sebetulnya. Membaca memang membuka dunia, membuka
wawasan akan kehidupan orang lain, orang-orang di berbagai belahan dunia. Tapi
kalau terlalu banyak, kita jadi tidak punya kehidupan
sendiri, kehidupan yang sesungguhnya.
Tapi sepertinya, tanpa
memiliki nafsu membaca yang kemaruk pun, setiap orang selalu ingin tahu
kehidupan orang lain dan mengabaikan urusannya sendiri.
Maka, sehabis menamatkan Marrying the Mistress oleh Joanna
Trollope (PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan pertama, Februari 2004) beberapa
hari lalu, aku segera melanjutkannya dengan The
Guru of Love. Caraku menentukan buku yang akan kubaca biasanya karena aku
dibayang-bayangi buku tersebut, seakan-akan ia memanggilku untuk membacanya.
sumber |
Kedua buku tersebut bukan aku
yang membeli, tapi salah satu orangtuaku, dan pokok ceritanya hampir sama: Ada
lelaki yang punya perempuan lain di
samping istrinya. Terheran-heran juga apa yang membuatnya tertarik membeli
keduanya, dan aku yakin dia tidak benar-benar membacanya setelahnya. Entah
sudah berapa tahun kedua buku ini tersimpan dalam lemari tanpa ada yang
menyentuh-nyentuh. Bagaimanapun juga, menurutku, yang sedang berusaha kembali
menikmati fiksi, keduanya menarik, sehingga aku berusaha menyelesaikannya
secepat mungkin dan mengabaikan jadwal yang sepatutnya kutaati. Dan meskipun
pokok ceritanya mirip, namun keduanya menyentuh dengan cara yang berbeda. Marrying the Mistress, yang berlatar di
Inggris, memantik pemikiranku soal emansipasi, feminisme, semacam itulah;
betapa kerja keras perempuan sebagai “ibu rumah tangga sejati”—yang mencurahkan
hampir seluruh perhatiannya pada membesarkan anak, merawat rumah dan kebun, dan
seterusnya—seakan tiada artinya dan malah berdampak buruk pada kepribadiannya
karena menjadi orang yang sangat bergantung (terutama pada suami sebagai
penghasil nafkah atau juga anaknya yang sudah dewasa) dan akhirnya menyusahkan
anggota keluarga yang lain. Sementara The
Guru of Love, yang berlatar di Nepal, terasa lebih mengharu-biru, romantis,
serta mengagungkan pengabdian dan
kesetiaan seorang istri bagaimanapun tingkah sang suami.
Singkat cerita: Hiduplah
Ramchandra, guru matematika terbaik di kota dan menjadi teladan di sekolah
tempatnya bekerja. Meskipun begitu, ia hidup sangat sederhana di rumah susun
bersama istrinya yang gemuk, Goma, dan dua anak mereka, Sanu dan Rakesh. Untuk
menambah penghasilan, Ramchandra mengadakan les privat di rumahnya. Ia kemudian
terpikat dengan salah seorang murid lesnya, Malati. Keadaan Malati rupanya jauh
lebih mengenaskan dibandingkan kehidupan keluarga Ramchandra. Ia tinggal di
sebuah rumah yang sangat jorok bersama ibu tirinya, dan ternyata ia sudah
memiliki anak—hasil hubungan gelapnya dengan seorang sopir taksi yang telah
beristri dan menghilang begitu mengetahui kehamilannya. Hubungan mereka lantas
menjadi intim. Ramchandra mengakui hal itu pada Goma. Goma sempat
meninggalkannya, kembali ke rumah orangtuanya yang kaya raya dengan membawa
kedua anak mereka. Tidak tahan ditinggal keluarganya lama-lama, Ramchandra
memohon agar mereka kembali sembari berjanji tidak akan berhubungan dengan
Malati lagi. Bersamaan dengan itu, Malati dengan membawa bayinya mendatangi
Ramchandra karena diusir ibu tirinya. Goma yang mengetahui hal itu malah
menyuruh Ramchandra agar mengajak Malati dan bayinya itu tinggal bersama
mereka. Ia bahkan menyiapkan kamarnya bersama Ramchandra untuk ditempati mereka
berdua, sementara ia sendiri pindah ke kamar anak-anaknya. Mulanya Ramchandra
dan Malati tidak menerima hal itu dan menganggapnya sebagai hukuman dari Goma.
Namun Goma menegaskan bahwa itu hal terbaik yang dapat diperbuatnya. Bagian ini
benar-benar membuatku menangis. Sebelumnya aku pernah berpikir enteng soal poligami;
berbagi suami. Hal itu justru dapat menjadi keuntungan bagi istri pertama
karena dapat berbagi beban mengurus rumah tangga dengan istri kedua (dst, kalau
ada). Tapi entah mengapa, walaupun Goma pun menunjukkan sikap demikian dalam
cerita ini, aku merasa bahwa diam-diam itu sesungguhnya hal yang berat dan
merasa geram juga pada Ramchandra. Hati semakin terkuras setelah rahasia Goma
terkuak. Selama pernikahan mereka, Ramchandra memendam penasaran: Kenapa
orangtua Goma yang kaya raya dan memiliki rumah bak istana (bangunan itu memang
dinamai Pandey Palace) mau menikahkan
putri mereka dengan pemuda miskin sepertinya. Selain itu, pada waktu itu usia
Goma sudah cukup tua untuk menikah. Setelah mereka menikah pun orangtua Goma tidak
memperlakukan Ramchandra dengan sepantasnya, selalu menyinggung kondisi
ekonominya yang pas-pasan. Ramchandra bahkan sempat berprasangka buruk pada
Goma. Namun ternyata, alasan keluarga Goma menikahkan putrinya dengan
Ramchandra berdasarkan hal yang sederhana saja. Dan kurasa mengetahui kenyataan
itu menambah beban penyesalan pada diri Ramchandra.
Samrat Upadhyay, pengarang
cerita ini, dalam biografi singkatnya di akhir buku dikatakan merupakan penulis
Nepal pertama yang menulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Barat.
Tulisan-tulisannya telah diakui secara luas dan mendapat berbagai penghargaan. The Guru of Love sendiri mendapat ulasan
baik di Publishers Weekly dan The Library Journal. Bagiku yang tidak
tahu banyak soal Nepal sebelumnya, selain itu nama salah satu negara di Asia
Selatan, novel ini tentu saja membuka wawasan. Kukira dunia tahu lebih banyak
tentang India ketimbang Nepal, katakanlah berkat film-film Bollywood-nya. Dan
sepertinya di toko ada lebih banyak buku tentang India ketimbang Nepal. Maka
sedikit-sedikit wawasanku tentang India (yang memang sangat sedikit sekali)
menjadi pembanding sementara pembacaanku terhadap novel ini. Bagiku Nepal agak mirip
dengan India. Penduduknya sama-sama lekat dengan tradisi Hindu, dan mungkin
juga sama-sama senang menyanyi dan menari di jalan. Tapi India tampaknya lebih
kosmopolitan, lebih besar. Dikatakan juga dalam novel ini kalau orang India
berkulit lebih gelap. Banyak orang India yang mencari pekerjaan di Nepal
sehingga penduduk setempat kurang menyukai mereka. Meskipun begitu, gambaranku
akan keduanya persis: Negara berkembang dengan rakyat membeludak yang
kebanyakan di antaranya miskin. Selain itu, novel ini bukan hanya menceritakan persoalan
cinta tapi juga melatarinya dengan situasi politik yang sedang bergolak. Novel
ini diterbitkan di Boston dan New York pada 2003, namun tidak disebutkan latar
waktu yang persis selain pada waktu itu rakyat Nepal (atau para aktivisnya)
tengah bergulat menggulingkan sistem satu partai yang korup dan memperjuangkan
demokrasi.
Terjemahannya dalam bahasa
Indonesia yang diterbitkan oleh C|Publising (PT Bentang Pustaka, Yogyakarta,
cetakan pertama, Mei 2005) enak dibaca meskipun sesekali ada yang mengganjal.
Salah satunya soal istilah-istilah dalam bahasa Nepal yang kadang dimiringkan
dan kadang tidak—sehingga seakan-akan itu kata biasa saja dalam bahasa
Indonesia padahal belum tentu pembaca mengerti artinya, tidak bisa sekadar
mengandalkan dari menerka-nerka konteksnya. Keterangan mengenai istilah ada di
halaman belakang dan tidak lengkap, misalnya tidak ada arti kata habsi sebagaimana disebut dalam halaman
478.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar