6.2.15

The Guru of Love [Samrat Upadhyay]


Sepertinya aku keranjingan baca novel lagi. Ini gawat sebetulnya. Membaca memang membuka dunia, membuka wawasan akan kehidupan orang lain, orang-orang di berbagai belahan dunia. Tapi kalau terlalu banyak, kita jadi tidak punya kehidupan sendiri, kehidupan yang sesungguhnya

Tapi sepertinya, tanpa memiliki nafsu membaca yang kemaruk pun, setiap orang selalu ingin tahu kehidupan orang lain dan mengabaikan urusannya sendiri. 

Maka, sehabis menamatkan Marrying the Mistress oleh Joanna Trollope (PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan pertama, Februari 2004) beberapa hari lalu, aku segera melanjutkannya dengan The Guru of Love. Caraku menentukan buku yang akan kubaca biasanya karena aku dibayang-bayangi buku tersebut, seakan-akan ia memanggilku untuk membacanya. 

sumber
Kedua buku tersebut bukan aku yang membeli, tapi salah satu orangtuaku, dan pokok ceritanya hampir sama: Ada lelaki yang punya perempuan lain di samping istrinya. Terheran-heran juga apa yang membuatnya tertarik membeli keduanya, dan aku yakin dia tidak benar-benar membacanya setelahnya. Entah sudah berapa tahun kedua buku ini tersimpan dalam lemari tanpa ada yang menyentuh-nyentuh. Bagaimanapun juga, menurutku, yang sedang berusaha kembali menikmati fiksi, keduanya menarik, sehingga aku berusaha menyelesaikannya secepat mungkin dan mengabaikan jadwal yang sepatutnya kutaati. Dan meskipun pokok ceritanya mirip, namun keduanya menyentuh dengan cara yang berbeda. Marrying the Mistress, yang berlatar di Inggris, memantik pemikiranku soal emansipasi, feminisme, semacam itulah; betapa kerja keras perempuan sebagai “ibu rumah tangga sejati”—yang mencurahkan hampir seluruh perhatiannya pada membesarkan anak, merawat rumah dan kebun, dan seterusnya—seakan tiada artinya dan malah berdampak buruk pada kepribadiannya karena menjadi orang yang sangat bergantung (terutama pada suami sebagai penghasil nafkah atau juga anaknya yang sudah dewasa) dan akhirnya menyusahkan anggota keluarga yang lain. Sementara The Guru of Love, yang berlatar di Nepal, terasa lebih mengharu-biru, romantis, serta mengagungkan pengabdian dan kesetiaan seorang istri bagaimanapun tingkah sang suami. 

Singkat cerita: Hiduplah Ramchandra, guru matematika terbaik di kota dan menjadi teladan di sekolah tempatnya bekerja. Meskipun begitu, ia hidup sangat sederhana di rumah susun bersama istrinya yang gemuk, Goma, dan dua anak mereka, Sanu dan Rakesh. Untuk menambah penghasilan, Ramchandra mengadakan les privat di rumahnya. Ia kemudian terpikat dengan salah seorang murid lesnya, Malati. Keadaan Malati rupanya jauh lebih mengenaskan dibandingkan kehidupan keluarga Ramchandra. Ia tinggal di sebuah rumah yang sangat jorok bersama ibu tirinya, dan ternyata ia sudah memiliki anak—hasil hubungan gelapnya dengan seorang sopir taksi yang telah beristri dan menghilang begitu mengetahui kehamilannya. Hubungan mereka lantas menjadi intim. Ramchandra mengakui hal itu pada Goma. Goma sempat meninggalkannya, kembali ke rumah orangtuanya yang kaya raya dengan membawa kedua anak mereka. Tidak tahan ditinggal keluarganya lama-lama, Ramchandra memohon agar mereka kembali sembari berjanji tidak akan berhubungan dengan Malati lagi. Bersamaan dengan itu, Malati dengan membawa bayinya mendatangi Ramchandra karena diusir ibu tirinya. Goma yang mengetahui hal itu malah menyuruh Ramchandra agar mengajak Malati dan bayinya itu tinggal bersama mereka. Ia bahkan menyiapkan kamarnya bersama Ramchandra untuk ditempati mereka berdua, sementara ia sendiri pindah ke kamar anak-anaknya. Mulanya Ramchandra dan Malati tidak menerima hal itu dan menganggapnya sebagai hukuman dari Goma. Namun Goma menegaskan bahwa itu hal terbaik yang dapat diperbuatnya. Bagian ini benar-benar membuatku menangis. Sebelumnya aku pernah berpikir enteng soal poligami; berbagi suami. Hal itu justru dapat menjadi keuntungan bagi istri pertama karena dapat berbagi beban mengurus rumah tangga dengan istri kedua (dst, kalau ada). Tapi entah mengapa, walaupun Goma pun menunjukkan sikap demikian dalam cerita ini, aku merasa bahwa diam-diam itu sesungguhnya hal yang berat dan merasa geram juga pada Ramchandra. Hati semakin terkuras setelah rahasia Goma terkuak. Selama pernikahan mereka, Ramchandra memendam penasaran: Kenapa orangtua Goma yang kaya raya dan memiliki rumah bak istana (bangunan itu memang dinamai Pandey Palace) mau menikahkan putri mereka dengan pemuda miskin sepertinya. Selain itu, pada waktu itu usia Goma sudah cukup tua untuk menikah. Setelah mereka menikah pun orangtua Goma tidak memperlakukan Ramchandra dengan sepantasnya, selalu menyinggung kondisi ekonominya yang pas-pasan. Ramchandra bahkan sempat berprasangka buruk pada Goma. Namun ternyata, alasan keluarga Goma menikahkan putrinya dengan Ramchandra berdasarkan hal yang sederhana saja. Dan kurasa mengetahui kenyataan itu menambah beban penyesalan pada diri Ramchandra. 

Samrat Upadhyay, pengarang cerita ini, dalam biografi singkatnya di akhir buku dikatakan merupakan penulis Nepal pertama yang menulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Barat. Tulisan-tulisannya telah diakui secara luas dan mendapat berbagai penghargaan. The Guru of Love sendiri mendapat ulasan baik di Publishers Weekly dan The Library Journal. Bagiku yang tidak tahu banyak soal Nepal sebelumnya, selain itu nama salah satu negara di Asia Selatan, novel ini tentu saja membuka wawasan. Kukira dunia tahu lebih banyak tentang India ketimbang Nepal, katakanlah berkat film-film Bollywood-nya. Dan sepertinya di toko ada lebih banyak buku tentang India ketimbang Nepal. Maka sedikit-sedikit wawasanku tentang India (yang memang sangat sedikit sekali) menjadi pembanding sementara pembacaanku terhadap novel ini. Bagiku Nepal agak mirip dengan India. Penduduknya sama-sama lekat dengan tradisi Hindu, dan mungkin juga sama-sama senang menyanyi dan menari di jalan. Tapi India tampaknya lebih kosmopolitan, lebih besar. Dikatakan juga dalam novel ini kalau orang India berkulit lebih gelap. Banyak orang India yang mencari pekerjaan di Nepal sehingga penduduk setempat kurang menyukai mereka. Meskipun begitu, gambaranku akan keduanya persis: Negara berkembang dengan rakyat membeludak yang kebanyakan di antaranya miskin. Selain itu, novel ini bukan hanya menceritakan persoalan cinta tapi juga melatarinya dengan situasi politik yang sedang bergolak. Novel ini diterbitkan di Boston dan New York pada 2003, namun tidak disebutkan latar waktu yang persis selain pada waktu itu rakyat Nepal (atau para aktivisnya) tengah bergulat menggulingkan sistem satu partai yang korup dan memperjuangkan demokrasi.

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh C|Publising (PT Bentang Pustaka, Yogyakarta, cetakan pertama, Mei 2005) enak dibaca meskipun sesekali ada yang mengganjal. Salah satunya soal istilah-istilah dalam bahasa Nepal yang kadang dimiringkan dan kadang tidak—sehingga seakan-akan itu kata biasa saja dalam bahasa Indonesia padahal belum tentu pembaca mengerti artinya, tidak bisa sekadar mengandalkan dari menerka-nerka konteksnya. Keterangan mengenai istilah ada di halaman belakang dan tidak lengkap, misalnya tidak ada arti kata habsi sebagaimana disebut dalam halaman 478.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar