9.2.15

Aku di Dunia dan Akhirat [Prof. Dr. Aloei Saboe]



Ngeri juga kover buku ini, seperti sampul album death metal. Latar hitam. Seorang manusia menduduki bola dunia. Sebagian tubuhnya tampak utuh sementara sebelah lagi berupa kerangka. Ukurannya kecil dan tipis saja, empat puluh halaman. Buku ini diterbitkan PT Alma’arif, Bandung, dan yang kubaca adalah cetakannya yang kedua, 1981. Penulisnya—seorang Direktur Akademi Perawatan Bandung sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran—hendak menerangkan perjalanan roh manusia berdasarkan pengetahuan ilmiah, filsafat, dan agama.

Buku ini dibuka dengan uraian mengenai hakikat “Aku” yang lebih dari sekadar badaniah, bukan juga semata ditentukan oleh fungsi otak. Justru “Aku” itulah yang mengendalikan otak untuk berbuat sesuai kehendaknya (halaman 9). Sungguhpun begitu, penulis tetap memberi kajian tentang otak yang dipercayai oleh alim-ulama dan cendekiawan Barat dahulu kala sebagai tempat bersemayamnya jiwa manusia, tepatnya di suatu kelenjar yang disebut glandula pinealis atau kelenjar nanas. Sungguh menarik ketika penulis mengatakan bahwa apabila kelenjar nanas ini sebelumnya mengalami kerusakan, misalnya mengeras akibat proses pengapuran (yang entah karena apa), maka akan menimbulkan yang dinamakan “anak ajaib”. Anak yang demikian ditakdirkan untuk meninggal pada umur yang sangat muda, setelah sebelumnya menunjukkan sifat-sifat kedewasaan—simak kutipan dari halaman 13 ini: “Pada umur 4 tahun, ia menjadi sempurna dewasa, dan memperlihatkan sikap hidup serta cara berpikir dari seorang dewasa. Ia gemar sekali berfilsafat dan berdiskusi tentang soal-soal kematian. Pada umur 5 ½ tahun ia akan meninggal dunia.” (Sejujurnya ini hal pertama dalam buku ini yang menarik bagiku, membuatku penasaran untuk menelusuri soal itu lebih lanjut.)

Perlu dibedakan antara jasmani, jiwa, dan rohani. Menurut Aristoteles, rohani bersifat lebih tinggi dan lebih murni daripada jiwa, dan tidak terikat atau tunduk kepada jasmani. Plato membagi jiwa menjadi dua lemen, yaitu irasional dan rasional. Elemen irasional dari jiwa tidak dapat melepaskan diri dari sifat-sifat kejasmaniannya, sedangkan elemen rasional memiliki sifat-sifat ketuhanan yang akan melanjutkan perjalanan untuk bersatu kembali dengan asalnya. Elemen rasional inilah yang dalam kita-kitab suci disebut sebagai rohani. Pendapat ini sesuai pula dengan pendapat para ahli pikir dari Timur, khususnya India dan Tiongkok. Menarik juga ketika dikatakan bahwa jiwa yang terikat dengan materi itu masih dapat dipanggil kembali bahkan divisualisasikan (dilihat, digambar, dipotret) meskipun telah meninggalkan jasmaninya (halaman 18-19). Fenomena ini disebut juga parapsikologi.

Walaupun demikian, penulis tidak berlama-lama pada soal tersebut. Ia segera kembali pada kelanjutan perjalanan “Aku”, yang menurut kitab-kitab suci terbagi menjadi tiga fase, yaitu:

1. Fase di dunia, yaitu ketika “Aku” diselimuti atau dikurung di dalam materi yang disebut dengan badan atau tubuh. Fase ini penting karena menentukan yang akan terjadi pada fase-fase berikutnya sehingga disebut juga fase pembentukan atau persiapan. 

Dalam fase pertama ini, perbuatan akan menjelma menjadi kebiasaan, dan kebiasaan akan membentuk watak atau tabiat, dan inilah yang menentukan tujuan yang terakhir dari kehidupan ‘Aku’. –halaman 21

2. Fase antara yang dalam Alquran disebut dengan “Barzakh”, yakni stadium antara kematian dan kebangkitan, juga “Qabr”—kubur. Pada fase ini “Aku” telah meninggalkan jasmaninya.

3. Fase terakhir disebut juga “Kebangkitan Umum”, terjadi lama setelah fase yang kedua. Alquran menyebutnya “Yaum-al-qiyama”, “Yaum-al-akhir”, “Yam ad-din”, “Yaum-al-fath”, “Yaum-al-ba’ts”, dan sebagainya.

Umat Islam memang wajib memercayai adanya kehidupan di akhirat, tempat segala amal perbuatan dibalas dengan nikmat surga atau siksa neraka. Pada pokoknya manusia harus beramal saleh sebanyak-banyaknya dilandasi dengan akidah yang lurus. Sungguhpun begitu, uraian selebihnya dalam buku ini hanya menyinggung sedikit saja soal itu, barangkali karena penulis mencoba untuk memadukan berbagai pemikiran—yang sumbernya bukan saja dari Alquran, tapi juga Alkitab dan lain-lain—mengenai keadaan “Aku” pada fase setelah kematian jasadnya.

Buku ini tidak cukup dibaca sekali—khususnya bagi yang kurang meminati pemikiran jelimet.  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar