Ngeri juga kover buku ini, seperti sampul album death metal. Latar hitam. Seorang
manusia menduduki bola dunia. Sebagian tubuhnya tampak utuh sementara sebelah
lagi berupa kerangka. Ukurannya kecil dan tipis saja, empat puluh halaman. Buku
ini diterbitkan PT Alma’arif, Bandung, dan yang kubaca adalah cetakannya yang
kedua, 1981. Penulisnya—seorang Direktur Akademi Perawatan Bandung sekaligus
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran—hendak menerangkan
perjalanan roh manusia berdasarkan pengetahuan ilmiah, filsafat, dan agama.
Buku ini dibuka dengan uraian mengenai hakikat
“Aku” yang lebih dari sekadar badaniah, bukan juga semata ditentukan oleh
fungsi otak. Justru “Aku” itulah yang mengendalikan otak untuk berbuat sesuai
kehendaknya (halaman 9). Sungguhpun begitu, penulis tetap memberi kajian
tentang otak yang dipercayai oleh alim-ulama dan cendekiawan Barat dahulu kala
sebagai tempat bersemayamnya jiwa manusia, tepatnya di suatu kelenjar yang disebut
glandula pinealis atau kelenjar nanas. Sungguh menarik ketika penulis
mengatakan bahwa apabila kelenjar nanas ini sebelumnya mengalami kerusakan,
misalnya mengeras akibat proses pengapuran (yang entah karena apa), maka akan
menimbulkan yang dinamakan “anak ajaib”. Anak yang demikian ditakdirkan untuk
meninggal pada umur yang sangat muda, setelah sebelumnya menunjukkan
sifat-sifat kedewasaan—simak kutipan dari halaman 13 ini: “Pada umur 4 tahun,
ia menjadi sempurna dewasa, dan memperlihatkan sikap hidup serta cara berpikir
dari seorang dewasa. Ia gemar sekali berfilsafat dan berdiskusi tentang
soal-soal kematian. Pada umur 5 ½ tahun ia akan meninggal dunia.” (Sejujurnya
ini hal pertama dalam buku ini yang menarik bagiku, membuatku penasaran untuk menelusuri
soal itu lebih lanjut.)
Perlu dibedakan antara jasmani, jiwa, dan rohani.
Menurut Aristoteles, rohani bersifat lebih tinggi dan lebih murni daripada
jiwa, dan tidak terikat atau tunduk kepada jasmani. Plato membagi jiwa menjadi
dua lemen, yaitu irasional dan rasional. Elemen irasional dari jiwa tidak dapat
melepaskan diri dari sifat-sifat kejasmaniannya, sedangkan elemen rasional
memiliki sifat-sifat ketuhanan yang akan melanjutkan perjalanan untuk bersatu
kembali dengan asalnya. Elemen rasional inilah yang dalam kita-kitab suci
disebut sebagai rohani. Pendapat ini sesuai pula dengan pendapat para ahli
pikir dari Timur, khususnya India dan Tiongkok. Menarik juga ketika dikatakan
bahwa jiwa yang terikat dengan materi itu masih dapat dipanggil kembali bahkan
divisualisasikan (dilihat, digambar, dipotret) meskipun telah meninggalkan
jasmaninya (halaman 18-19). Fenomena ini disebut juga parapsikologi.
Walaupun demikian, penulis tidak berlama-lama
pada soal tersebut. Ia segera kembali pada kelanjutan perjalanan “Aku”, yang
menurut kitab-kitab suci terbagi menjadi tiga fase, yaitu:
1. Fase di dunia, yaitu ketika “Aku” diselimuti
atau dikurung di dalam materi yang disebut dengan badan atau tubuh. Fase ini
penting karena menentukan yang akan terjadi pada fase-fase berikutnya sehingga
disebut juga fase pembentukan atau persiapan.
Dalam fase pertama ini, perbuatan akan menjelma
menjadi kebiasaan, dan kebiasaan akan membentuk watak atau tabiat, dan inilah
yang menentukan tujuan yang terakhir dari kehidupan ‘Aku’. –halaman 21
2. Fase antara yang dalam Alquran disebut dengan
“Barzakh”, yakni stadium antara kematian dan kebangkitan, juga “Qabr”—kubur.
Pada fase ini “Aku” telah meninggalkan jasmaninya.
3. Fase terakhir disebut juga “Kebangkitan Umum”,
terjadi lama setelah fase yang kedua. Alquran menyebutnya “Yaum-al-qiyama”,
“Yaum-al-akhir”, “Yam ad-din”, “Yaum-al-fath”, “Yaum-al-ba’ts”, dan sebagainya.
Umat Islam memang wajib memercayai adanya
kehidupan di akhirat, tempat segala amal perbuatan dibalas dengan nikmat surga
atau siksa neraka. Pada pokoknya manusia harus beramal saleh sebanyak-banyaknya
dilandasi dengan akidah yang lurus. Sungguhpun begitu, uraian selebihnya dalam
buku ini hanya menyinggung sedikit saja soal itu, barangkali karena penulis mencoba
untuk memadukan berbagai pemikiran—yang sumbernya bukan saja dari Alquran, tapi
juga Alkitab dan lain-lain—mengenai keadaan “Aku” pada fase setelah kematian
jasadnya.
Buku ini tidak cukup dibaca sekali—khususnya bagi
yang kurang meminati pemikiran jelimet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar